Hampir sepuluh tahun berlalu, tiada aktivitas jadi 'guru' dadakan lagi. Di masa-masa SMP dan SMA, saya lebih senang berteman dengan mesin tik, komputer, disket, kamera yang memakai rol film, mesin stensil (jaman SMP dulu hehehe), tape recorder, dan bertanya sana dan sini. Mungkin di cerita dengan judul yang berbeda saya menuliskan kisah sebagai wartawan bulletin sekolah yang terbit perdana di masa jabatan saya sebagai pemimpin redaksi.
Selepas SMA, saya dilepas pula ke pulau yang konon terpadat di penduduknya di Indonesia. Alhamdulillah, saya direstui Mammi dan Pappi untuk berjuang mendapatkan ilmu di kota pelajar saat itu (semoga sekarang gelar tersebut masih melekat) sehingga tidak merasakan benar dampak dari padatnya jumlah penduduk di pulau Jawa. Hm...barusan saya teringat, iya juga, Yogyakarta Berhati Nyaman di akhir tahun '90an tetap saja padat bagiku karena Sorowako yang hampir seluruh penduduknya saling mengenal itulah saya berasal.
Saya bersyukur tiada henti, kost saya kebetulan bertetangga dengan kost kakak kelas saya yang kebetulan juga tetangga rumah saya di Sorowako. Tenanglah hati ini untuk berjuang. Oleh sang senior, saya pun diajak bergabung dengan organisasi non profit yang berbasis relawan di Yogyakarta. AFS. Saya yang masih fresh from the oven sebagai returnee dengan semangat menyala-nyala ikut bergabung. Hitung-hitung nambah keluarga di perantauan. Ini adalah perantauan keduaku. Sebelumnya ketika SMA, saya merantau ke negeri matahari terbit dengan dana separuh alias sebagai siswa pertukaran pelajar. Hitung-hitungan keduanya adalah ini saatnya saya mengabdikan diri sebagai ungkapan terima kasih pada lembaga yang membuatku mengecap paket 11 bulan di sebuah desa kecil di ujung selatan pulau Kyushu.
Yogyakarta memang berhati nyaman. Senyaman melihat sapaan ramah teman-teman sang tetangga yang senior itu di AFS. Kami menyebut Bina Antarbudaya/AFS di Yogyakarta sebagai chapter Jogja. Lebih singkat dan lebih nyaman di lidah saat menyebutnya hehehehe. Saat itu ada seorang siswa SMA yang dinyatakan lulus ke Jepang juga. Tentu saya bisa merasakan aura kegirangan dia yang amat sangat. Namun dia terkendala soal bahasa. Ah iya...bahasa Jepang. Di Sorowako kala itu, jangankan bahasa Jepang, untuk belajar bahasa Inggris saja saya hanya bisa mendapatinya di sekolah. Mammi yang memberanikan diri meminta tolong pada seorang Jepang yang mengontrak rumah di belakang rumah kami. Jadilah saya menjadi murid bapak Jepang itu selama beberapa saat. Saya ingin membuat hati sang siswa ini nyaman dengan berita bahwa dia akan segera mengenyam pendidikan di Jepang. Dengan agak sungkan tapi nekat, saya menawarinya untuk belajar bahasa Jepang dengan saya saja. Tanpa bayar, tekanku. Toh sensei saya di Sorowako saat itu tidak meminta bayaran juga malahan memberikan banyak minuman kaleng yang saya dan adik-adik senangi. Sang siswa terlihat gembira dan mengiyakan.
Jadilah, di rantau saya mengenang masa kecil menjadi 'guru' dan 'teman belajar' bagi seorang yang lebih muda. Hatiku pun makin nyaman untuk berbagi ilmu.Hati siapa sih yang tidak nyaman berada di kota sang Jenderal?
Sorowako, 4 September 2010
::saya menjadi teman belajar bahasa Jepang untuk beberapa siswa yang akan berangkat ke Jepang saat itu, dan mereka semua tidak hanya sekali menginjakkan kaki di luar NKRI setelahnya::