Sabtu, 04 September 2010

Akhir Tahun '90an

Hampir sepuluh tahun berlalu, tiada aktivitas jadi 'guru' dadakan lagi. Di masa-masa SMP dan SMA, saya lebih senang berteman dengan mesin tik, komputer, disket, kamera yang memakai rol film, mesin stensil (jaman SMP dulu hehehe), tape recorder, dan bertanya sana dan sini. Mungkin di cerita dengan judul yang berbeda saya menuliskan kisah sebagai wartawan bulletin sekolah yang terbit perdana di masa jabatan saya sebagai pemimpin redaksi.

Selepas SMA, saya dilepas pula ke pulau yang konon terpadat di penduduknya di Indonesia. Alhamdulillah, saya direstui Mammi dan Pappi untuk berjuang mendapatkan ilmu di kota pelajar saat itu (semoga sekarang gelar tersebut masih melekat) sehingga tidak merasakan benar dampak dari padatnya jumlah penduduk di pulau Jawa. Hm...barusan saya teringat, iya juga, Yogyakarta Berhati Nyaman di akhir tahun '90an tetap saja padat bagiku karena Sorowako yang hampir seluruh penduduknya saling mengenal itulah saya berasal.

Saya bersyukur tiada henti, kost saya kebetulan bertetangga dengan kost kakak kelas saya yang kebetulan juga tetangga rumah saya di Sorowako. Tenanglah hati ini untuk berjuang. Oleh sang senior, saya pun diajak bergabung dengan organisasi non profit yang berbasis relawan di Yogyakarta. AFS. Saya yang masih fresh from the oven sebagai returnee dengan semangat menyala-nyala ikut bergabung. Hitung-hitung nambah keluarga di perantauan. Ini adalah perantauan keduaku. Sebelumnya ketika SMA, saya merantau ke negeri matahari terbit dengan dana separuh alias sebagai siswa pertukaran pelajar. Hitung-hitungan keduanya adalah ini saatnya saya mengabdikan diri sebagai ungkapan terima kasih pada lembaga yang membuatku mengecap paket 11 bulan di sebuah desa kecil di ujung selatan pulau Kyushu.

Yogyakarta memang berhati nyaman. Senyaman melihat sapaan ramah teman-teman sang tetangga yang senior itu di AFS. Kami menyebut Bina Antarbudaya/AFS di Yogyakarta sebagai chapter Jogja. Lebih singkat dan lebih nyaman di lidah saat menyebutnya hehehehe. Saat itu ada seorang siswa SMA yang dinyatakan lulus ke Jepang juga. Tentu saya bisa merasakan aura kegirangan dia yang amat sangat. Namun dia terkendala soal bahasa. Ah iya...bahasa Jepang. Di Sorowako kala itu, jangankan bahasa Jepang, untuk belajar bahasa Inggris saja saya hanya bisa mendapatinya di sekolah. Mammi yang memberanikan diri meminta tolong pada seorang Jepang yang mengontrak rumah di belakang rumah kami. Jadilah saya menjadi murid bapak Jepang itu selama beberapa saat. Saya ingin membuat hati sang siswa ini nyaman dengan berita bahwa dia akan segera mengenyam pendidikan di Jepang. Dengan agak sungkan tapi nekat, saya menawarinya untuk belajar bahasa Jepang dengan saya saja. Tanpa bayar, tekanku. Toh sensei saya di Sorowako saat itu tidak meminta bayaran juga malahan memberikan banyak minuman kaleng yang saya dan adik-adik senangi. Sang siswa terlihat gembira dan mengiyakan.

Jadilah, di rantau saya mengenang masa kecil menjadi 'guru' dan 'teman belajar' bagi seorang yang lebih muda. Hatiku pun makin nyaman untuk berbagi ilmu.Hati siapa sih yang tidak nyaman berada di kota sang Jenderal?

Sorowako, 4 September 2010
::saya menjadi teman belajar bahasa Jepang untuk beberapa siswa yang akan berangkat ke Jepang saat itu, dan mereka semua tidak hanya sekali menginjakkan kaki di luar NKRI setelahnya::

Jumat, 03 September 2010

Awal Tahun '90an

Saya menulis cerita ini sekalian napak tilas perjalanan panjang yang ternyata membawaku menjadi seorang guru kini. Sebelumnya saya sudah menceritakan hari pertama saya menjadi 'guru' bagi anak-anak tetangga ketika saya berusia awal masa sekolah dasar di pertengahan tahun 80-an. Kesibukan menjadi anak sekolah dasar dan adanya jarak pertemanan antara anak laki-laki dan anak perempuan di usia tersebut membuat 'sekolah'an saya di sela waktu bermain sore kami pun terhenti.

Ketika menjelang menuntaskan masa 6 tahun dengan seragam putih merah, tiba-tiba seorang ibu tetangga saya datang ke rumah. Niat ibu tetangga saya saat itu untuk memintaku mengajar matematika buat anaknya yang sepantaran dan setingkat kelas dengan saya namun beda sekolah. Ha ha ha

Ingin rasanya menolak, tapi Mammi sudah langsung mengiyakan. Alasannya sederhana saja, biar saya lebih sering belajar menjelang EBTANAS (Jaman saya SD, sebutan untuk Ujian Akhir Sekolah Bertandar Nasional atau UASBN adalah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional... entah apa alasannya sebutan untuk ujian lulus SD itu harus berubah, tapi intinya saya harus belajar sungguh-sungguh untuk lulus dengan nilai memuaskan saat itu).

Jadilah sang tetangga yang tinggal sebelah rumahku datang ke rumah setelah shalat maghrib. Sebenarnya sih saya tidak mengajar dia sebenar-benarnya orang mengajar seperti guru di bimbingan belajar. Lah kami kan sama-sama anak kelas 6 SD, cuma beda sekolah. Kami hanya mengerjakan latihan soal bersama, kalau diistilahkan sih namanya belajar kelompok. Tapi menyenangkan juga punya teman belajar matematika menjelang ujian. Alhamdulillah, usaha kerasku tidak sia-sia. Saya berhasil lulus EBTANAS dengan gemilang. Dan tetanggaku? Kami sudah tidak berbeda sekolah lagi saat sekolah di SMP :)

Sorowako, 3 September 2010
::sang tetangga saat ini sudah bekerja di bagian accounting di sebuah perusahaan tambang besar di daerah kami::

Pertengahan Tahun '80an

Saat pertengahan tahun 80'an yang saya lupa tepatnya tahun seribu sembilan ratus delapan puluh berapa, rumah orang tua saya masih mempunyai halaman yang cukup luas untuk tempat saya dan adik-adik bermain. Ada dua ayunan dan halaman berumput jepang yang berada di dalam pagar rumah. Hampir setiap sore halaman kami berubah layaknya taman bermain bagi saya dan tetangga seusia yang kesemuanya anak laki-laki. Ramai tentu saja. Berebutan giliran untuk bermain ayunan sampai bermain perang-perangan di halaman berumput jepang yang dibuat oleh Pappi (saya dan adik-adik menyebut bapak atau ayah kami dengan 'pappi', seharusnya papi, tetapi lidah kami lebih mantap dengan dobel p :D )

Suatu hari, terjadi pertengkaran sengit untuk merebut giliran bermain ayunan lagi. Sayang saya sudah lupa asal muasalnya namun yang tertinggal dalam ingatan adalah saya sebagai anak perempuan yang merasa sebagai pemilik ayunan dan terbawa kebiasaan mengatur teman di kelas karena sering menjadi ketua kelas, mulai menggunakan hak prerogative. Saya menentukan siapa yang bermain duluan dan setiap giliran hanya boleh berayun sekian kali (lagi-lagi saya lupa jumlah ayunan dalam keputusan saya ketika itu) lalu bergantian dengan teman lain. Mereka yang belum dapat giliran bermain, saya wajibkan menjadi 'murid' di 'sekolahan' saya. Yang masih tertinggal dalam ingatan saya kisah 20an tahun lalu itu adalah beberapa anak duduk menghadapi papan tulis mini dan saya yang sibuk 'mengajar' angka di teras rumah kami. Alhasil, suasana di halaman rumah bisa lebih tenang dan saya menikmati hari pertama menjadi seorang guru... Hahahaha

Sorowako, 3 September 2010
:: tepat 5 tahun menjadi guru di SD YPS Singkole, Sorowako::